Namaku Zahraa, aku baru lulus SMP.
Aku anak yang cukup gaul. Oh iya, aku baru masuk sekolah Senin depan dan
langsung MOS (Masa Orientasi Siswa).
Tak terasa Senin pun tiba, dan mau
tidak mau aku harus ikut MOS. Berangkat jam 6 itu rasanya masih ngantuk dan
diselimuti oleh cuaca yang dingin. Oke siap berjuang ya.
Di sekolah, semua siswa baru dibagi
menjadi beberapa kelompok, dan aku mendapat kelompok 10. Yah mungkin itu biar
lebih kenal teman satu angkatan meski beda-beda kelas, kurang lebih esensinya
gitu. Disini kita berkenalan satu per satu dari mulai yang namanya A sampe Z.
Satu kelompok ada 10 orang. Kita juga saling berbagi alamat, no handphone,
tanggal lahir, nama lengkap dan nama panggilan. Dan semua ini wajib dihapal. Oh
iya ketua dikelompokku namanya Syahrul, dia tipe orang yang alim, baik dan
keren juga sih. Tapi entahlah aku kurang mengenalnya, lagi pula kita beda kelas.
Di sekolah dan suasana baruku, aku
mengikuti beberapa organisasi diantaranya aku ikut ekstrakurikuler Pramuka dan
Paskibra, sangat menyenangkan. Dan ternyata aku bertemu lagi dengan sang ketua
kelompok 10 yang tidak lain tidak bukan adalah Syahrul, bertemu di dua
organisasi yang ku ikuti. Entahlah rasanya aku pun bosan melihatnya. Sering
sekali kita bertemu di suatu organisasi.
Semenjak kita sering bertemu di
berbagai kegiatan akhirnya kita saling mengenal bahkan saling menghubungi untuk
sekedar berbagi informasi tentang kegiatan-kegiatan di sekolah dan lambat laun
aku mulai mengenalnya. Dia yang sering memberi motivasi, dia yang sangat taat
beribadah, dia yang sangat menghormati kedua orang tuanya, dia yang sangat
berjiwa pemimpin dan yang tak kalah penting dia yang begitu menghormati seorang
perempuan. Aku mulai mengaguminya secara diam-diam, aku tak tau apa yang ku
rasa ini. Sekedar kagumkah? Mungkin. Semenjak itu, aku berubah, aku ingat bahwa
‘laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik dan sebaliknya’ selain itu,
aku juga ingat bahwa ‘jodoh kita adalah gambaran diri kita’, aku mulai
berkerudung kemana-mana, bukan semata-mata karena Syahrul tapi satu keyakinan
bahwa semua ini membuat hidupku lebih nyaman, jauh lebih nyaman dari
sebelumnya, lalu aku tak hanya berkerudung, aku mulai memakai rok dan aku
mengikuti mentoring setiap minggunya hingga akhirnya aku lah yang kemudian
menjadi ketua mentoring di sekolahku. Aku sangat bersyukur atas semua rahmat
dan hidayah yang Allah SWT berikan kepadaku.
Kembali pada perasaan kagumku pada
Syahrul, aku sudah melupakannya. Aku sudah tak memikirkan tentang rasa kagum
yang sempat menghinggapi diriku pada Stahrul. Aku ingin fokus, fokus
memperbaikki diri dan menggapai cita-cita terutama membahagiakan kedua orang
tua. Begitu pun dengan Syahrul, kami saling menghubungi hanya sekedar membahas
kegiatan. Tak lebih, tak kurang. Tak pernah sekalipun di luar pembahasan
tentang itu, apalagi tentang rasa. Namun, satu yang ku ingat. Syahrul pernah
berkata padaku “ Allhamdulilah, kamu terlihat lebih anggun dengan seperti ini”.
Dia mengatakan itu, didepanku, ketika aku mulai merubah diriku dan
penampilanku. Tapi aku tak mau terlalu memikirkan kata-katanya, aku pun tak mau
terjebak dengan sesuatu yang semu, sesuatu yang hanya akan menjerumuskanku,
bukan aku saja, tapi menjerumuskan kami berdua. Tak ada yang perlu ku pikirkan
tentangnya, tentang kekagumanku dulu.
Tak terasa, waktu begitu cepat
berlalu. Aku dan Syahrul sudah kelas XII, kita akan segera kuliah, mengejar
mimpi dan cita kita masing-masing. Aku kuliah di jurusan Statistika, dan dia
kuliah di jurusan Ekonomi. Kita berbeda fakultas, bahkan kita berbeda
universitas dan kampus kami pun berbeda daerah.
Di kampus baruku, aku sangat
bahagia. Aku melanjutkan mentoring mingguan di kampus tercinta ini dan aku
menemukan banyak hal baru, teman dan sahabat baru juga berbagai pelajaran hidup
yang tak pernah ku dapatkan sebelumnya. Kabar Syahrul? Aku tak tau...
Tak terasa, aku sudah lulus kuliah
dan Allhamdulilah aku langsung bekerja di sebuah perusahaan di Indonesia.
Suatu senja, ku dengar kabar bahwa
Syahrul akan menikah dengan seseorang, seseorang yang sangat ku kenal, Syahrul
akan menikah dengan sahbatku di SMA, namanya Indah. Orang tua mereka
menjodohkan mereka. Aku hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT senantiasa menjaga
dan melindungi mereka, dua orang yang luar biasa itu. Aamiin...
Kini usiaku sudah menginjak 23
tahun, beberapa lelaki sudah datang ke orang tuaku untuk melamarku. Namun
entahlah di setiap istikharohku, aku selalu menemukan keraguan pada lelaki yang
hendak melamarku. Apa aku terlalu mementingkan karir? Atau ada hubungannya
dengan rasa kekagumanku pada Syahrul dulu? Oh rasanya bukan karena itu, memang
belum ada yang ku rasa cocok untukku dan aku belum siap. Bukannya aku sombong
dan terlalu pemilih, tapi aku memang belum bisa menerimanya. Aku butuh waktu
dulu untuk memirkinkannya. Bukan pula aku mencari yang sempurna, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Dan bukan juga mencari yang terbaik dari
yang baik tapi aku akan menjadi orang yang terbaik dimatanya, di mata imamku
kelak. Entah apa yang ku tunggu. Aku pun bingung, sangat bingung. Aku tak mau
sembarangan memilih imamku, seorang lelaki yang akan mendampingiku dalam sisa
hidupku, Insya Allah di dunia dan di akhirat kelak. Tulang rusuk dan pemiliknya
takkan pernah tertukar dan akan dipertemukan pada saat yang tepat. Tak ada yang
kebetulan, semuanya telah dirancang dengan sebaik-baiknya oleh Yang Maha Kuasa.
Aku yakin tak akan bersatu dua insan kecuali Allah SWT menyatukan hati
keduanya. Allah SWT yang tau mengenai yang baik dan buruk bagi kita, termasuk
tentang jodoh.
Bagiku menanti bukanlah sebuah
beban atau penyiksaan, aku menjalaninya dengan ikhlas. Sesungguhnya Allah SWT
pasti telah mengatur sesuatu yang lebih baik untukku yang sedang menanti.
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan dan tahun pun segera berlalu. Kini usiaku sudah menginjak 24 tahun. Aku
mendapat beasiswa S2 di Kanada. Dengan izin Allah SWT, aku berangkat kesana
dengan berbekal keyakinan dan do’a dari orang tuaku dan orang-orang yang sangat
ku sayangi.
Kanada? Yah di Negeri ini memang
indah, tapi bagiku tak ada yang lebih indah dari negeriku sendiri. Indonesiaku.
Di negeri ini, aku di pertemukan kembali dengan Fadlan, ketika di Indonesia dia
satu universitas denganku bahkan satu fakultas. Kita pun sering dipertemukan
dalam sebuah organisasi mahasiswa muslim juga berbagai kegiatan kampus. Aku
sudah cukup lama mengenalnya. Baru satu tahun aku kuliah di Kanada, aku sudah
sangat merindukan negeriku Indonesia tercinta dan sangat merindukan keluargaku,
akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Aku tak menyangka satu hari
setelah itu Fadlan datang ke rumahku dan melamarku. Aku masih memikirkan
lamaran Fadlan yang begitu cepat tak ku duga, aku shalat istikharoh dan
akhirnya aku menerima lamaran Fadlan karena dalam istikharohku, aku sangat
yakin. Pertama kalinya aku merasakan ini, yah jatuh cinta karena satu alasan
bukan karena kagum, kekerenan, kebaikannya tapi aku mencintainya karena Allah
SWT. Aku sudah sangat yakin dengannya, aku sudah mengenalnya bertahun-tahun
ketika aku masih kuliah. Dia adalah lelaki yang hebat dan luar biasa.
Akhirnya tepat di ulang tahunku
yang ke 25 kita melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang sangat ku dambakan.
Bersanding dengan orang yang luar biasa, yang sangat ku cintai karenaNya. Dia
yang selalu menenangkan hatiku, dia yang selalu menjaga keimananku dan dialah
yang Allah SWT pilihkan untukku. Pilihan yang terbaik. Allah SWT yang telah
menyatukan hatiku dan hatinya dalam sebuah janji ikatan yang suci yaitu
pernikahan. Betapa bahagianya kedua orang tuaku dan keluargaku begitupun dengan
keluarga Fadlan.
Malam itu Fadlan berkata padaku “Ya
Khumaira, semoga Allah SWT senantiasa menyatukan hati kita agar saling
mencintai selamanya karena Dia semata. Aamiin. “. Betapa bahagianya aku dan
Fadlan dan betapa beruntungnya kami berdua telah dipertemukan dengan cinta
sejati dalam sebuah ikatan suci, bagaikan butiran tasbih dan pengikatnya,
saling melengkapi menuju ridhoNya.
Cerpen ini ditulis saat mengikuti lomba menulis cerpen
kisah cinta Islami.
0 komentar:
Posting Komentar